Saturday, May 17, 2014

[profil] Dr. Lie Augustinus Dharmawan si "Dokter Gila'


"Kalau kamu jadi Dokter, jangan memeras orang kecil. Mereka akan bayar kamu, tapi mereka menangis di rumah karena tidak punya uang untuk beli beras"

Dr. Lie Augustinus Dharmawan (Li De Mei) dengan nama kecil Lie Tek Bie lahir di Padang pada 16 April 1946. Saat Lie baru menginjak usia 10 tahun, sang ayah meninggal. Ibunya yang hanya seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan tak sampai tamat Sekolah Dasar (SD), harus menghidupi dan menyekolahkan ketujuh anaknya yang masih kecil. Dari mencuci piring, mencuci baju, menyetrika, memasak, membuat kue pun dilakoninya.


Lie sempat membantu berjualan kue. Meski demikian, Lie kagum karena ibunya bukan hanya tak pernah menyerah tapi juga mengasihi orang-orang di sekitarnya. Lie sendiri tidak mengerti mengapa ibunya yang bahkan tak tamat SD mampu memiliki filosofi luhur semacam itu, meski hanya diungkapkan lewat kalimat sederhana: 
“Lie, kalau kamu sudah jadi dokter, jangan memeras orang kecil. Mereka akan membayar berapapun tetapi diam-diam menangis di rumah karena tidak ada makanan.” 
Inspirasi ini melekat kuat dalam benak Lie.

Kala itu, Lie memang melihat betapa sulitnya masyarakat sekitar pergi ke dokter saat sakit. Kemiskinan membuat masyarakat terpaksa pergi ke dukun sebagai alternatif pengobatan. Lie pun pernah merasakan, saat nyawa adiknya tak tertolong karena penyakit diare akut dan terlambat ditangani oleh dokter. Hal itulah yang membuat Lie bertekad kuat menjadi seorang dokter. Saat menyampaikan cita-citanya menjadi dokter, seisi kelas tertawa. Lie sadar perjuangannya berat. Selain belajar keras, setiap pukul enam pagi ia juga selalu berdoa di gereja yang dekat dengan sekolahnya. Doa yang sama selalu ia ulang selama bertahun-tahun: “Tuhan, saya mau jadi dokter yang sekolah di Jerman.”

Tahun 1965 Lie lulus SMA dengan prestasi cemerlang. Berulang kali ia mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas di Pulau Jawa, namun tidak diterima. Lie pun diterima di Universitas Res Publica (URECA) yang didirikan tahun 1958 oleh para petinggi organisasi Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Namun, baru saja berkuliah beberapa hari, gedung kampus tersebut dibakar massa. Alhasil, ia tak dapat melanjutkan kegiatan perkuliahan. Lie pun memutuskan bekerja serabutan, paling tidak untuk membeli tiket pergi ke Jerman.

Pada usia 21 tahun, Lie pun segera mendaftarkan diri ke sekolah kedokteran di Berlin Barat, tanpa dukungan beasiswa. Ia mulai berkuliah di Fakultas Kedokteran Free University, Berlin Barat. Untuk memenuhi biaya kuliah dan kehidupan sehari-harinya, Lie bekerja sebagai kuli bongkar muat barang. Di lain kesempatan, Lie juga pernah bekerja di sebuah panti jompo yang salah satu tugasnya adalah membersihkan kotoran orang tua berusia 80 tahunan.

Lie membuatnya tetap berprestasi sekalipun sibuk bekerja, sehingga ia mendapat beasiswa, itu semua ia gunakan untuk biaya sekolah adik-adiknya. Tahun 1974, Lie berhasil menyelesaikan pendidikannya dan mendapat gelar M.D. (Medical Doctor). Empat tahun setelahnya, Lie sukses menyandang gelar Ph.D. Melalui perjuangan tanpa kenal lelah selama sepuluh tahun, Lie akhirnya lulus dengan empat spesialisasi yakni ahli bedah umum, ahli bedah toraks, ahli bedah jantung dan ahli bedah pembuluh darah.

Selama enam bulan Lie di Semarang kemudian ke RS Rajawali, Bandung. Tahun 1988, Lie berkarir di RS Husada, Jakarta hingga saat ini. Kegiatan sosial pertama Lie sebagai seorang dokter bedah di Indonesia dilakukan saat mengoperasi secara cuma-cuma seorang pembantu rumah tangga tahun 1988. Selanjutnya, Lie juga terus mengupayakan bedah jantung terbuka (bedah di mana jantung dihentikan dari pekerjaannya untuk dibuka untuk diperbaiki). Bedah semacam ini melawan arus karena butuh peralatan yang lebih canggih dan mahal, namun harus dilakukan dalam operasi skala besar. Tahun 1992, Lie akhirnya sukses melangsungkan bedah jantung terbuka untuk pertama kalinya di rumah sakit swasta di Jakarta.

Jangankan berobat, jika makan sehari-hari pun sulit. Kesadaran ini menerpa batin Lie begitu kuat hingga akhirnya bersama Lisa Suroso (yang juga aktivis Mei 1998) mendirikan sebuah organisasi nirlaba di bidang kemanusiaan dengan nama doctorSHARE atau Yayasan Dokter Peduli—sebuah organisasi kemanusiaan nirlaba yang memfokuskan diri pada pelayanan kesehatan medis dan bantuan kemanusiaan. DoctorSHARE bekerja didasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan etika medis. DoctorSHARE memberikan pelayanan medis secara cuma-cuma di berbagai wilayah Indonesia. Selain pengobatan umum di berbagai sudut Indonesia, program awal DoctorSHARE adalah pendirian Panti Rawat Gizi) di Pulau Kei, Maluku Tenggara.


Bersama DoctorSHARE, Lie mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA) Swasta, yang diberi nama KM RSA DR. LIE DHARMAWAN. Pelayanan medis dalam RSA dilakukan dengan cuma-cuma. Tujuan didirikannya RSA ini adalah untuk melayani masyarakat yang selama ini kesulitan mendapat bantuan medis dengan segera karena kendala geografis dan finansial, terutama untuk kondisi darurat, khususnya bagi masyarakat prasejahtera yang tersebar di kepulauan di Indonesia.

Source

No comments:

Post a Comment